Sabtu, 31 Mei 2014

Step One

Ceritanya, tgl 23-25 Mei 2014 kantor piknik ke Jogja. Wuaahhh, hepii deh. Berangkat dari Batang tgl 23 Mei jam 9 malem, sampai Jogja subuh. Destinasi pertama ke pantai Indrayanti, lanjut ke goa Pindul buat susur goa dan ban rafting. Seruuuu... dan aku komplit basah kuyup. Hari diakhiri dengan mampir ke amplas karena sandal kesayangan ku jebol. Menginap di wisma MM UGM yg nyaman.. 

Hari kedua diawali dengan sarapan sampai kenyang dan lanjut ke touring merapi pake jeep. Asiiik. Seruu.. dan tuntas narsis, hahaha.. puas di merapi, pindah ke kebun buah naga. Sayangnya aku g kebagian buah naga buat oleh-oleh, hehe.. gpp. Yang penting tetep narsis :p Perjalanan dilanjut ke malioboro. Jalan kaki ampe gempor, belanja, dan telat balik ke bis, hehehe.. maap. Dan ketika rombongan beranjak pulang, aku tetep tinggal. Aku cuti bo! 3 hari! Dan dengan byk nya hari kecepit, maka rencana pulang ku adalah minggu depan. Yeay!!

Rencana awal ku di Jogja adalah: ngerjain tesis. Yup. Penuh konsentrasi aku belajar. Meski tidak mudah buat ku. Tapi selama di Jogja, aku bisa belajar smp jam 4 pagi, lo. Rekor...  di sela-sela belajar ku itu, aku kepikirian, mumpung di Jogja, ga ada salahnya sekalian periksa ke Klinik Permata Hati nya RSUP dr. Sardjito. Oke. Senin, 26 Mei aku kesana. Sendirian. Bismillah... Oiya, Haid terakhirku tgl 22 Mei, jadi pas kesana itu hari ke-5. Aku berangkat jam 10 lewat, perjalanan sekitar 15 menit (termasuk jalan dari parkiran dan tingak tinguk), diproses pendaftaran jam 11.45, dan dipanggil masuk jam 12-an, alias ga lama sodara-sodara. Oke, aku dipanggil masuk, ganti sandal, dan.. first meeting dg dokter Dwi Haryadi, Sp.OG (K). Hmm.., dokter nya masih muda sekitar 45 th (tyt bener lo, kelahiran thn 1969).

Dokter bertanya keluhan ku singkat, dan aku juga jawab singkat. Intinya, sudah 6 thn menikah, dan aku pengen punya anak . Dengan cepat dokter menanyakan riwayat kesehatanku. Mulai dari siklus menstruasi sampai ada tidaknya alergi juga riwayat penyakit dalam. Alhamdulillah semua aman. Pak dokter sopaaan banget, pake minta ijin buat USG trans V. Aku oke, dan diminta buang air kecil dulu. Daaan, inilah pengalaman pertama ku USG trans V. Liat alatnya, aman, ga takut. Pertama jelas kaget dan perasaan tak nyaman muncul. Tapi dokter memintaku liat ke layar, jadi lama-lama aku rileks. Di layar dokter nunjukin, ini rahim, trus apa gitu yg kanan sama yg kiri. Semua terlihat normal. Alhamdulillah.. Pemeriksaan USG trans V selesai dan sama sekali tidak sakit, dokter meminta ku untuk pemeriksaan lanjutan. Dan sesuai dengan dugaan ku, pak dokter yg ramah banget itu memintaku untuk HSG. Oke, mari kita jadwalkan. Dokter memberi range waktu tgl 29 – 31 Mei yang artinya itu hari ke 8 – 10. Aku tidak diberi obat apapun, dan pemeriksaan hari itu selesai dengan diagnosa infertil primer 6 tahun, diminta HSG dan kontrol kembali tgl 2 Juni. Keluar dokter ruang periksa, menyelesaikan administrasi, dan langsung bawa surat pengantar dokter ke bagian radiologi buat minta jadwal HSG.

Oiya, hari pertama ini biayanya habis Rp 414.000,- (pendaftaran 12.500, konsultasi dokter 115.000, dan USG trans V 286.500). balik lagi ke radiologi, krn tgl 29 dan 31 itu hari libur, maka aku dijadwalkan HSG tgl 30 Mei. Setelah dapet jadwal aku pulang. Sampai tahap ini, semua masih baik-baik aja. Selama menunggu hari untuk HSG, aku balik ke kesibukan semula. Buka jurnal, belajar smp puyeng, hehehe..

Tarararara... hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Jam 7 pagi hari Jumat, 30 Mei aku siap-siap ke Sardjito. Ternyata oh ternyata, antrinya panjaaaang. Berkas pendaftaran ku jam 8,30 tapi diproses jam 09.45. Untungnya aku ga kurang akal. Jam 9.15 namaku blm dipanggil juga di bagian pendaftaran, aku ke ruang periksa yang udah kasih jadwal. Tanya ini itu, dan langsung dikasi resep obat yg harus ditebus buat HSG. Jadi, sambil nunggu berkas pendaftaran ku, persiapan HSG ku juga jalan.

Selesai urusan administrasi, dokter Ari yang akan menangani HSG ku memberi penjelasan tentang proses HSG yang akan dilakukan, bla bla bla, dan aku diminta menandatangani pernyataan. Selama ada yg belum jelas, aku bebas bertanya dan dokter menjelaskan dengan sabar. Oke, mari kita masuk ke the real battle. Aku sudah browsing apa itu HSG dan langsung khawatir proses nya sakit. Lutut ku sudah lemas, campuran antara takut dan berani. Aneh kan? Dan mulailah aku dipersiapkan, pake baju bedah, berbaring di meja besar, difoto awal. Dan mulailah sesi yang mendebarkan. Well, awalnya aku takut dan malu-malu. Jelas sekali tidak nyaman dan aneh. Tapi berulang kali dokter Ari dan yang bantu (dokter juga ya atau bukan?) memintaku untuk rileks, dan buka kaki selebar-lebarnya. Aku berusaha nurut, meski ga mudah, dan berkali-kali menyusahkan. Lalu ada dokter senior dateng dan menyapa. Aih aih... ni para dokter kok ramah banget ya. Dan mulailah aku rileks. Kuturuti semua kata dokter. Dan... selain rasa tak nyaman ketika kateter dimasukkan tidak sakit lo. Jangan senang dulu, pertunjukan belum selesai. Dan sesi pemotretan pun dimulai. Dokter Ari sudah mengingatkan bahwa mungkin akan muncul rasa mules. Dan benar saja, begitu cairan kontras dimasukkan, mules nya ngalahin kalo lagi dapet. Tapi masih bisa ditahan, kan cuma sebentar.. posisi depan, miring kiri, dan miring kanan. Dan olala, cairan kontras 20 ml yang digunakan ternyata kurang. Jadi, nambahlah tagihan cairan kontras ku. Selesai, kateter dilepas dengan hembusan napas panjang ku, dan tidak sakit. Sekali lagi, semua proses, disamping rasa tidak nyaman yang jelas muncul, tapi tidak sakit . Dan selama proses tersebut, selain dokter Ari dan yang bantu, juga operator alat, dokter senior juga memantauku dari awal dengan wajah ramahnya. Berulang kali aku bertanya dan dokter menjawab dengan jawaban yang menentramkan. Senangnya...  dan jam 10.30 semua proses udah beres.

Oiya, administrasi pendaftaran biayanya 2.000 ditambah tindakan HSG biayanya 154.250 jadi totalnya Rp 156.250,-. Kemudian obat yang harus ditebus untuk proses HSG sebesar Rp 161.700,- dan cairan kontras tambahan (karena kurang) sebesar Rp 90.350,-. Jadi total hari ini sebesar Rp 408.300,-.

Selesai semua proses, aku merayu dokter agar hasilnya bisa ku ambil hari ini juga, karena besok aku harus pulang ke batang dan tgl 2 Juni yang seharusnya aku kontrol ke dokter Dwi aku harus ke Bandung. Alhamdulillah dijanjikan bisa diambil jam 4 sore. Jadilah jam 3.15 aku balik lagi ke Sardjito, ambil hasil HSG dan langsung telp dokter Dwi agar bisa konsultasi di tempat prakteknya. Dijanjikan jam 5 sore di klinik An-Nissa. Cuuuzz.., sampailah aku disana, sudah ada 3 pasien, 1 sedang diperiksa, yang 2 sedang antri. Begitu adzan magrib aku solat sambil menunggu giliran dipanggil ke ruang dokter. Ga lama, aku dipanggil masuk. Dokter ramah menyapaku sambil menanyakan mau ke Bali ya, engga dok ke Bandung. Dokter tertawa, sama-sama B nya. Dan mulailah kami membahas hasil HSG tadi. Suami ikut ndengerin lewat telp.

Daaaaan... kesimpulan nya adalah: kedua tuba ku non patent alias buntu total mulai dari pangkal. Well, aku sudah baca hasilnya jadi ga kaget. Dan mulailah kami membicarakan apa yang harus dilakukan. Pilihan ku hanya dua: laparoskopi atau bayi tabung. Kalau laparoskopi maka akan dilakukan pembedahan (meski minimal) untuk melihat apakah sumbatan nya masih bisa dibuka. Kalau masih ya berarti dibuka, tapi kalau tidak berarti pilihanku kembali ke bayi tabung. Melihat kasus ku yang buntu mulai dari pangkal, maka menurut dokter ini sudah kronis, artinya sudah menahun, artinya lagi, sudah sulit mencari penyebab awalnya, yang artinya pula sulit penyelesaiannya. Dokter juga menyampaikan bahwa menurut pengalamannya, penyumbatan yang bisa dibuka itu biasanya 1/3 atau maksimal ½ dari saluran tuba. Yang mana pada kasusku, sepanjang tuba ku buntu sehingga itu pekerjaan sangat besar. Lalu kenapa dokter menyarankan laparoskopi? Karena sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu masih bisa dibuka, meski dokter tidak yakin. Dan pembicaraan selanjutnya mulai teknis, kalau laparoskopi kapan bisa dilakukan, dan kalau bayi tabung kapan bisa dimulai prosesnya. Jelas perkara besar ini harus dipertimbangkan masak-masak. Konsultasi diakhiri dengan dokter memberiku pengantar laparoskopi di klinik Permata Hati atau kalau mau bayi tabung aku tinggal dateng aja ketemu dokter. Biaya konsultasi Rp 55.000,-

Keluar dari ruang praktek, aku masih lanjut telp sama suami sampai setengah jam lebih. Lalu aku pulang. Sepanjang perjalanan naek motor, aku nangis. Kecewa, jelas. Sedih, jelas. Pertanyaan kenapa terjadi padaku, jelas. Meski pertanyaan itu ku buang jauh-jauh. Well, aku tau aku istimewa. Tapi aku ga mungkir kalau aku sedih. Mental ku dari awal siap untuk inseminasi buatan yang artinya kedua tuba ku patent. Tapi sekarang pilihan ku hanya dua. Dua pilihan yang sama-sama sulit. Dua pilihan yang sama-sama mahal. Entahlah. Belum dibahas lagi. Aku hanya yakin bahwa Alloh selalu memberi yang terbaik untuk ku.. Yassir umuuronaaa... aamiin..

Rabu, 12 Februari 2014